Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun walaupun
pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan
dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap
mental,budaya dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di
keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang
menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai
hingga saat ini.
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang
panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam
perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan
salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini
dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan
berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang
telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan
yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut
turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta,
Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945
(Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang
berkembang di masyarakat.
Rumusan
I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1
Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan
mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara
Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr.
Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI
baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh
Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis
mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada
BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan
sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar
negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1
Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan
calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip.
Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila”
(secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran
seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh
karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila,
dan Ekasila.
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan
anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni
1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota
BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38
anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk
suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia
Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara
dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah
antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan
golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara
sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan
di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum
dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr.
Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir
paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”
(paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/
declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para
“Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam
Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam
BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak
kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak
kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan
[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang
beredar di masyarakat adalah:
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli
1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta)
dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli
1945.
Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas
menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence
(berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan
Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun).
Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya
sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan
rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi
pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan
V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa
Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan
Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera
diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari
Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan
keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar
negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera
menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam.
Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan
itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui
penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi
keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan
dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan
untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan
dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya
dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi
RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik
Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima
bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan
nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara
bagian saja.
Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku
bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi
Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara
bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat
dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui
pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan
kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran.
Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan
bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang
intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST,
menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS
No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara
kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan)
UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan
VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan
UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi
keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat
itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang
salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh
PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD
Sementara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang
terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan. Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi
lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara
tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat
rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.
Rumusan
X: Versi Populer
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan
diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer
inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia
pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama
dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta
frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa)
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Kaki
1.^ Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon dasar
negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh.
Hatta, Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak
panjang. Hatta berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan
Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara
Integralistik
2.^ Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau
sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku
3.^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi bagian timur provinsi
Sumut (sekarang)
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1
Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal
I Aturan Tambahan UUD 1945).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar